Seorang
artis muda mengumumkan kalau rencana pernikahannya akan ditunda. Sebabnya,
calon ayah mertuanya sedang sakit dan tak memungkinkan Beliau hadir di pesta
perrnikahannya itu. Ditemani pihak wedding
organizer dan perwakilan keluarga
calon suaminya, si artis menolak menjelaskan secara detail sakit yang diderita
calon ayah mertuanya itu,
“Mohon
doanya saja.” Kata perwakilan pihak keluarga calon mempelai pria.
Itulah
adegan yang saya tonton di sebuah acara infotainment
suatu pagi. Sambil menunggu anak di kamar mandi, iseng saya meraih remote
dan menemukan sebuah channel
televisi. Jujur saya tak terlalu tertarik dengan berita itu. Tapi narasi untuk
berita itu yang menarik perhatian saya.
Setelah
menampilkan omongan si artis dan pihak terkait mengenai penundaan
pernikahannya, narator kemudian mengomentarinya dengan kalimat berikut:
“Sebab penundaan
pernikahan xxx telah disebutkan yaitu karena ayah calon suaminya sedang sakit
keras. Namun adakah sebab lain di balik penundaan pernikahan xxx?.
Entahlah..Yang jelas terdapat kejanggalan dalam konfrensi pers yang digelar
itu. Pertama adalah ketidakhadiran Adam-calon suami xxx-. Dalam konfrensi pers
tersebut, hanya tampak paman Adam yang mewakili pihak calon mempelai pria.”
“Mas Adam harus mendampingi Papa yang sedang
sakit karena Beliau memang sedang butuh support
ya dari keluarganya.” jelas si artis menjawab rasa penasaran wartawan mengenai
ketidakhadiran calon suaminya yang asal Malaysia itu.
Toh setelah
adegan jawaban si artis mengenai ketidakhadiran calon mempelai pria dimunculkan,
narasi berita tetap seolah ingin menggiring penonton untuk tetap
bertanya-tanya,
“Yang juga janggal adalah xxx
seolah ingin menyembunyikan perihal sakit yang diderita calon ayah mertuanya
itu. Xxx pun menolak menjelaskan secara detail mengenai hal itu. Xxx hanya
menjelaskan kalau ayah Adam sedang sakit keras di Arab Saudi.”
Saya
tak melanjutkan menonton acara itu karena saya harus mengerjakan hal lain. Tapi
ada hal yang menggelitik saya. Ini bukan pertama kalinya saya nonton infotainment pagi itu meskipun hanya sedikit-sedikit.
Yang saya ingat, jika ada satu peristiwa yang ditampilkan, narasi berita
seringkali mengundang penonton untuk bertanya-tanya lebih jauh. Membuat situasi
yang sebenarnya adem-adem saja jadi keruh, semata karena pertanyaan “mengapa” tadi.
Misalnya,
beberapa waktu lalu saya membaca di internet tentang makam almarhum ustadz
Jeffry yang sudah diperbagus. Awalnya, saya tak berpikir apapun tentang berita
itu dan tidak ingin mencari tahu lebih jauh. Tapi kemudian, program di sebuah televisi
memperlebar peristiwa “biasa-biasa” itu dengan pertanyaan: “Mengapa Umi Tatu-Ibu Uje-memutuskan untuk memperbagus makam?Benarkah ia tak
membicarakannya dengan istri Almarhum hingga Pipik merasa tersinggung?
Padahal
setelah dikonfirmasi ulang, tidak ada masalah antara mereka mengenai pembagusan
makam itu. Hanya ada kesalahpahaman yang bisa saja timbul karena wartawan
pintar “memanas-manasi” saat mereka mewawancarai kedua belah pihak. Sepertinya,
memang tidak seru kalau peristiwanya datar-datar saja. Dan mungkin memang itu
prinsip sebuah berita? “bad news is good
news” untuk media. Kalau bisa, telisik lebih jauh, ajukan pertanyaan yang
bisa membuat narasumber akhirnya mengiyakan sebuah rumor-minimal membuat mereka
terpaksa bilang “ya” atau bilang “mungkin saja.”
Masih banyak contoh peristiwa lain yang saya tonton atau baca di tentang berbagai peristiwa. Betapa sebuah peristiwa yang tak "potensial" menimbulkan konflik bisa runyam akibat konflik yang timbul dari "bumbu-bumbu" berlebihan yang "ditaburkan" media. Ya..ya..seingat saya dalam teori yang saya baca dulu, wartawan memang bertugas untuk mencari tahu apa yang ingin khalayak tahu. Apakah itu yang jadi alasan, hingga bumbu-bumbu itu muncul atas nama keingintahuan khalayak?.
Sungguh ini hanya unek-unek
saya. Saya tak hendak mengulasnya dari sisi teori Jurnalistik atau apapun.. Biarlah ahlinya saja yang berbicara..Ini
hanya tulisan biasa dari seorang pengamat berita..