![]() |
Foto : duniaislammodern.blogspot.com |
Saya
selalu salut dengan mereka yang memilih untuk menikah di usia muda. Maksudnya
mereka yang berani menikah di bawah umur 25 tahun, selepas SMU atau di masa
kuliah misalnya. Saya salut karena saya pribadi dulu tidak bercita-cita untuk
menikah muda. Cita-cita saya dulu, menikah minimal setelah skripsi he..he..
Buat
saya, menikah adalah tambahan tanggungjawab. Orang boleh tidak setuju. Tapi
itulah yang saya pahami tentang pernikahan dulu. Jadi, terbayang kalau saya
harus jadi istri dan ibu-dengan seabreg tugas-tugasnya- dan di saat yang sama
saya pun menjadi mahasiswi-dengan seabreg kewajibannya juga. Berat..
Tambahan
lagi, gambaran tentang pernikahan selepas sekolah atau saat kuliah yang saya
lihat, tak selalu bagus menurut saya. Saya punya teman yang menikah di tingkat
2. Tak lama setelah menikah, ia pun hamil. Hamilnya ternyata agak bermasalah.
Saat hamil muda, ia masih memaksakan diri kuliah. Tapi akibatnya dia kena flek
dan dokter mengharuskannnya bedrest..Mungkin
karena kelamaan bedrest, akhirnya
kuliah teman saya ini terhenti di tingkat 2. Sayang memang..Tapi itulah
pilihan..
Teman
saya yang lain menikah saat masih kuliah juga. Padahal tinggal skripsi saja.
Akhirnya, skripsinya tak sempat selesai karena keburu punya anak. Saya amat
sayangkan juga karena ibaratnya tinggal selangkah lagi dia mengakhiri “perjuangannya”.
Tentu
saja, tak semua pernikahan muda usia seperti itu. Banyak figur lain yang sukses
menyeimbangkan perannya di rumah tangga dan di kampus. Meskipun memang
perjuangan dan godaan untuk menyelesaikan kuliah bagi mereka yang sudah
menikah, konon lebih berat. Adanya tambahan kewajiban, mencari nafkah untuk
laki-laki dan di rumah tangga untuk perempuan, membuat waktu untuk
memperhatikan perannya sebagai mahasiswa/i agak berkurang. Tapi toh banyak juga yang berhasil melewati
itu semua. Kuliah kelar, rumah tangga lancar..
Saya
tak antipati pada mereka yang menikah selepas sekolah atau saat kuliah. Tapi,
ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Di antaranya, jangan memutuskan
menikah karena keburu nafsu. Tanyakan pada diri sendiri, apakah benar saya siap
untuk menikah?. Ini bukan semata masalah maisyah
atau nafkah ya..karena rezeki bisa dicari. Tapi lebih ke siap secara mental.
Jangan
bilang, kalau teman saya bisa kenapa saya enggak? Menurut saya, setiap orang
memiliki kesiapan dan kematangan kepribadian yang berbeda. Tak bisa dipukul
rata semua orang pasti bisa. Saya misalnya, pas kuliah tingkat 2 lagi
semangat-semangatnya berorganisasi, cari pengalaman dan jalan-jalan ke
sana-kemari. Nggak kepikiran buat
menikah. Kayaknya bakal beban banget
kalau saya menikah saat itu. Tapi teman saya di usia yang sama dengan saya
sudah lebih matang hingga saat menikah pun dia sudah lebih siap.
Jika secara mental memang telah siap, saya
yakin sesulit apapun situasi yang dihadapi pasca menikah, keluhan atau rasa
berat saat menjalani pernikahan akan dapat diminimalkan. Kita pun akan lebih
lapang menjalaninya karena kita sadar itulah konsekuensi, tanggung jawab dari
sebuah pernikahan.
Lalu,
jangan lupa menyosialisasikan keputusan itu kepada orang tua. Mungkin orang tua
punya keinginan dan harapan sendiri pada anaknya. Misalnya, ingin anak lulus
dulu baru menikah. Jika orang tua tidak setuju tapi kita tetap ingin menikah
karena ingin menjaga diri, berusahalah untuk membicarakan hal ini dengan cara yang baik. Terus berusaha dan berdoa agar
hati orang tua terbuka dan izin pun keluar.
Menikah
muda atau tidak, kadang hanyalah sebuah pilihan. Tapi, saya percaya bahwa Allah
lebih tahu apa yang terbaik untuk kita. Saya diberi Allah jodoh saat telah
lulus kuliah dan sudah bekerja. Ya..karena saya sendiri memang sudah siap saat
itu. Intinya, ketika kita memutuskan sesuatu, jalani dengan penuh tanggung
jawab. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar