 |
www.featurepics.com |
Riuh rendah peristiwa politik belakangan
ini terasa sekali pengaruhnya dalam kehidupan saya. Jika dulu hanya televisi
dan media cetak yang memberitakan, kini media sosial dan web pun telah dengan bebas memberitakannya. Semakin riuh menurut
saya karena di dunia maya, reaksi, komentar dan pendapat seseorang bisa
langsung tersebar dan mendapat tanggapan baik dari yang pro maupun kontra.
Derasnya arus informasi itu seolah tak
dapat dibendung. Kini nyaris sulit dibedakan lagi berita mana yang benar dan mana
yang hoax. Ingat kasus penangkapan
hakim MK , Patrialis Akbar (PA)? Dalam hitungan jam, telah muncul beragam versi
penangkapan PA dari beragam web berita maupun blog hingga fakta sesungguhnya menjadi blur dan membingungkan.
Saya ingat apa definisi berita menurut
teori jurnalistik. Berita adalah....... Tapi manusia sebagai pembuat dan
penyampai berita bukanlah makhluk tanpa emosi yang bebas dari motif. Ketika
terjadi sebuah peristiwa, mau tak mau setiap orang akan memiliki persepsi dan
sudut pandang sendiri terhadap peristiwa itu sesuai dengan pengetahuan atau
motif yang dimilikinya. Persepsi itulah yang memengaruhinya dalam menyampaikan
ulang sebuah peristiwa atau bahkan tidak menyampaikannya karena dianggap tidak
penting.
Contoh, ketika terjadi kasus pencurian
motor di kampung yang dilakukan si A seorang guru mengaji, reaksi setiap orang
akan berbeda-beda. Ada yang melihatnya sebagai kasus pencurian biasa dan tak
menganggapnya sebagai peristiwa penting hingga hanya menanggapinya dengan
santai saja. Ada yang melihat kasus itu
luar biasa karena dilakukan oleh si A yang selama ini dikenal alim. Ada yang
memanfaatkan kasus itu untuk menjatuhkan si A karena ia tak suka pada A. Orang
yang tak suka ini lalu menyebarkan berita tentang pencurian itu dengan
menitikberatkan pada pelakunya, “ Yang
nyuri kan si A. Orang alim, lho dia. Kok bisa ya orang yang katanya ngerti
agama kayak gitu..” dan seterusnya.
Tak beda dengan individu, media massa yang
ditugaskan untuk meyampaikan berita apa adanya, pun tak luput dari unsur
subjektivitas dalam pemberitaannya. Tentu saja, karena media juga terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki visi misi tertentu sesuai dengan visi misi media
tempat ia bernaung. Sebuah peristiwa akan disampaikan dan ditanggapi berbeda
sesuai dengan visi atau motif media tersebut. Ketika umat Islam melakukan aksi
Bela Islam misalnya, ada beragam headline
yang muncul di media cetak maupun pemberitaan di media elektronik dan internet.
Ada yang acung jempol dan memandang aksi itu sebagai bukti solidaritas umat
untuk membela agamanya. Ditampilkan pula sisi-sisi menarik dari aksi itu
seperti sedekah para penjual makanan atau rumput lapangan Monas yang tetap rapi
meskipun yang datang ribuan jumlahnya. Berita
positif ini disampaikan oleh media atau individu yang proaksi. Sementara yang
kontra, mencibir dan menganggap aksi itu
hanya buang-buang tenaga dan cari perhatian saja. Disorotlah hal-hal yang
negatif dari aksi misalnya sampah yang menggunung, anak-anak sekolah yang bolos
demi ikut aksi atau macet panjang karena aksi itu.
Inilah yang dalam teori jurnalistik disebut
objektivitas yang subjektif. Konon, tidak ada berita yang disampaikan secara pure objektif. Objektif menurut media A
belum tentu objektif menurut media B. Karena itu, ada pengimbang yang disebut cover both sides, mencari dan
menyampaikan fakta dari kedua belah pihak yang terlibat dalam satu peristiwa.
Jika terjadi kasus pencurian misalnya, perlu digali dari pihak korban dan
pelaku. Dalam sebuah konflik, perlu diwawancarai pihak-pihak yang bertikai
hingga berita menjadi imbang.
Menjadi masalah ketika media menyebarkan
berita bohong. Peristiwanya tidak benar-benar ada atau peristiwanya ada tapi
ada sempalan cerita bohong yang ditambahkan di dalamnya. Lalu, salahkah jika
media menyampaikan berita hoax? Jika
dilihat dari sudut pandang agama, menyampaikan sesuatu tanpa sesuai faktanya
adalah bentuk kebohongan dan itu jelas salah serta ada hukumnya. Namun tidak
ada benar salah dalam teori jurnalistik. Itu hanya dianggap sebagai bentuk
pelanggaran terhadap definisi berita itu sendiri serta bentuk pengingkaran nurani dan tugas sebagai
penyampai berita yang seharusnya. Jika seorang wartawan menyampaikan berita
bohong, ia akan dicap wartawan pembohong saja oleh khalayak. Hukum positifnya
apa, sepertinya tidak ada.
Sebagai penerima berita, hendaknya kita pun
dapat menjadi khalayak yang kritis. Artinya, jangan menerima berita dan
memercayainya mentah-mentah tanpa kita cek dan ricek kebenarannya. Yang paling
ideal memang mengetahui kronologis peristiwanya dari orang pertama. Namun jika
tidak mungkin, berikut hal-hal yang dapat kita lakukan: Satu, jika menerima sebuah berita, lihatlah siapa yang
menyampaikannya. Jika diperoleh dari webite
tertentu, periksa reputasinya. Jika memang dikenal dapat dipercaya, boleh lah
kita menerimanya sebagai berita yang benar. Kedua,
jika memungkinkan, lakukan perbandingan berita antara media satu dengan yang
lain dan tidak terbatas hanya dari satu media saja. Kadang, saya malah
membaca-baca media sosial dari orang yang berbeda pemikiran dengan saya,
sekedar untuk tahu pemaknaannya dari
sudut pandang lain. Namun jika malah membuat ragu, cukup tanyakan saja
kebenarannya pada orang yang memiliki lebih banyak ilmu. Ketiga,
selalu upgrade pengetahuan kita. Jika
kita memiliki wawasan yang luas, kita cenderung tak mudah dipengaruhi oleh
orang lain karena kita sudah memiliki prinsip sendiri.
Akhirnya, semua memang kembali kepada kita.
Pilihan untuk memercayai atau tidak memercayai sebuah berita ditentukan oleh
pengetahuan dan sudut pandang yang kita miliki. Begitupun kecenderungan untuk
memilih berita mana yang akan kita baca dan ikuti dapat menjadi petunjuk dari
ke arah mana kita memihak. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar