“ Tahukah Anda sebenarnya
film kartun Upin dan Ipin merupakan rancangan Yahudi untuk menghancurkan Islam.
Setelah kartun Doraemon, pokemon, digimon dll gagal menghancurkan anak-anak
muslim. Perlu kalian ketahui, jangan mengucapkan Upin atau Uffin karena Upin
dalam bahasa Amerika artinya “Aku Benci
Rasul” . Dan ucapkan Ariffin jangan Ipin karena ipin sendiri artinya “Ya, aku
suka Israel.” Huruf U di baju Upin artinya USA sedangkan huruf I di baju Ipin
maknanya Israel..”
![]() |
Source;cdn.pixabay.com |
Begitu
bunyi broadcast yang saya terima
suatu hari. Tak lama, seseorang juga mengirimi saya broadcast yang sama, kali ini secara pribadi. Nampaknya ini bukan
kali pertama saya mendapatkan sebaran berita semacam itu. Mulai dari berita
tentang produk tertentu yang katanya mengandung zat berbahaya sampai tentang
produk makanan kaleng asal Thailand yang mengandung darah HIV. Pernah pula saya
memperoleh broadcast gambar suntikan
yang menggantung di bawah roll tisu di sebuah toilet duduk- konon di sebuah
mall. Lalu kita diminta berhati-hati pada suntikan itu karena konon suntikan
itu telah berisi darah yang mengandung HIV.
Banyak
di antara kita yang mungkin langsung memercayai berita-berita itu lalu tanpa
ragu membagikan beritanya kepada yang lain. Apalagi jika berita tersebut
menyertakan sumber yang nampaknya terpercaya, seperti menyertakan link berita ke sebuah situs berita terkenal
atau menyebutkan narasumber orang terkenal maupun orang yang kompeten di
bidangnya, mungkin untuk makin meyakinkan khalayak.
Saya
sendiri pernah percaya suatu berita dan menyebarkannya. Namun di kemudian hari,
saya mendapatka konfirmasi dari seorang teman yang lebih kompeten dan
mengatakan bahwa berita itu hanya hoax!
Duh...Berarti saya juga punya andil menyebarkan hal yang bisa jadi menimbulkan
keresahan.
Mungkin
kita lupa bahwa jagat dunia maya memungkinkan siapapun untuk membuat berita
macam apapun, termasuk berita bohong dengan beragam motifnya, entah karena
iseng, bermaksud menjatuhkan atau untuk menimbulkan keresahan. Kita pun akan
kesulitan mencari tahu sumber awal berita itu hingga nyaris tak dapat diketahui
siapa pembuat dan penyebar awalnya kecuali jika dibantu oleh tenaga ahli yang
memahami teknologi. Artinya, pembuat berita akan merasa lebih “aman” dari
resiko dipersalahkan karena toh kemungkinan besar tidak akan ada yang tahu
perbuatannya itu.
Selain
itu, media sosial (internet) membuat pemakainya cenderung membaca sesuatu
secara cepat dan sekilas serta ogah
berpikir panjang. Banyak orang yang hanya membaca headline (judul) berita – yang kini seringkali dibuat sesensasional
mungkin- lalu langsung mengambil kesimpulan sendiri, lantas berkomentar nyinyir padahal isi berita kadang
berbeda jauh dari headline- nya.
Karena
itu, penting bagi kita untuk tetap mengedepankan akal sehat dan sikap kritis
kita sebelum memercayai sesuatu yang belum tentu benar adanya. Tentu kita tak
ingin “membantu” tersebarnya sebuah
berita yang ternyata hoax belaka meskipun
kita melakukannya karena ketidaktahuan. Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yang
saya lakukan biasanya adalah mengamati isi berita. Jika diamati seksama,
seringkali berita-berita seperti itu menggunakan pilihan kata dan bahasa yang
provokatif , malah terkesan mengancam seperti “Tolong sebarkan, jika Anda peduli” atau “Tolong sebarkan jika Anda memang muslim” . Begitupun pilihan hurufnya, ditulis dengan
huruf-huruf besar dan kecil, mungkin bermaksud memberi penekanan-penekanan tertentu.
Selain itu, jika diamati, berita-berita seperti itu juga seringkali tak masuk
akal. Bisa jadi ini pun tak disadari oleh penulisnya. Mungkin karena
menganggap, tak perlu mensinkronkan isi berita dan logika. Misalnya berita tentang
pemuda yang meninggal gara-gara doyan
makan kangkung dan tanpa sengaja memakan lintah yang bersembunyi di batang
kangkung. Membacanya saja sudah membuat saya mengerutkan kening. Soal lintah
yang kok masih bisa hidup di
usus-kalau cacing sih iya bisa survive-
atau rontgen yang supercanggih hingga
bisa memperlihatkan dengan jelas lintah-lintah kecil yang bergerak lincah.
Lucunya, saya menemukan kalau broadcast
serupa telah beredar pula di intenet namun dengan nama dan lokasi yang berbeda.
Waduh...!
Jika
merasa ragu dengan sebuah berita, saya pun berselancar ke beragam web, kadang hingga
ke web ilmu pengetahuan, untuk mencari tahu. Seringkali saya menemukan kalau broadcast-broadcast yang saya terima banyak yang bohong. Beberapa broadcast malah dianggap amat meresahkan
hingga pihak-pihak yang diklaim telah membenarkan berita itu merasa perlu untuk
memberikan klarifikasi. Masalahnya, publik tak semuanya cerdas, kritis dan
memiliki pengetahuan yang cukup untuk menelaah sebuah berita. Celah ini lah
yang lagi dan lagi dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab
untuk menyebarkan berita bohong.
Kuncinya
memang ada pada kita sendiri. Maka, jadilah publik yang cerdas. Jangan hanya
karena mencantumkan web tertentu, nama tokoh atau instansi tertentu, lalu kita
memercayainya begitu saja. Perlu cek-ricek sebelum jari kita memilih copy-paste untuk menyebarkan berita itu
kepada kenalan dan saudara.