![]() |
sumber: smpmuhammadiyah2godean.com |
Ini kisah Mutiarani. Gadis
sederhana lulusan SMK 2 Semarang jurusan Ekonomi Akuntansi ini menjadi peraih
nilai Ujian Nasional tertinggi tingkat SMA/SMK tahun ajaran 2011/2012 dengan nilai nyaris
sempurna: 29,6. Ironisnya, gadis yatim ini terancam tak mampu meneruskan
sekolahnya ke jenjang perguruan tinggi karena ketidakadaan biaya. Ibunya,
Sutarmi, hanyalah seorang pembantu rumah tangga dengan penghasilan 600 ribu per
bulan. Dengan penghasilan itu lah ia menghidupi Mutiarani dan 2 anaknya yang
lain. Sebenarnya, Mutiarani bukannya tak berusaha. Ia sempat mencoba tes
program beasiswa Bidik Misi di Universitas Negeri Semarang tetapi gagal. Kini,
Sutarmi hanya berharap akan ada dermawan yang terketuk hatinya untuk membantu
biaya kuliah putrinya itu.
Begitulah nasib anak pintar di
negara kita. Pintar bukan jaminan bisa sekolah tinggi. Padahal pendidikan,
meminjam istilahnya pak Anis Baswedan, hendaknya mampu menjadi eskalator
kehidupan seseorang, mengangkat “derajat”nya dari tingkat bawah ke level
menengah atau atas. Banyak orang sukses
negeri ini yang berasal dari keluarga tak berada. Namun berkat pendidikan,
mereka mampu menjadi kalangan terpelajar dengan kontribusi tak sedikit untuk
bangsa ini. Mereka mampu menduduki posisi-posisi strategis dan mumpuni di bidangnya.
Dulu, jika kita mampu secara
akademis tapi tak mampu secara ekonomi, ada pilihan untuk sekolah di perguruan
tinggi negeri yang biayanya masih terjangkau. Tapi kini, biaya kuliah di negeri
dan swasta hampir tak ada bedanya. Beruntung lah jika kita pintar plus punya
uang. Ada begitu banyak kesempatan untuk kuliah entah di negeri, swasta bahkan
di luar negeri. Jika kita malas bersaing dengan ratusan ribu pesaing di SMPTN
tapi punya uang, kita masih tetap punya kesempatan kuliah. Kita dapat mencoba
jalur lain yang disebut “jalur khusus”. Berbeda dengan “jalur biasa” alias
SNPMTN tadi, jalur “luar biasa” ini membutuhkan persyaratan lain selain
kemampuan akademis, kemampuan finansial.
![]() |
sumber: hasanaji.blogspot.com |
Yang agak sulit adalah ketika
kita (sama sekali) tak punya uang. Kalaupun kita mampu lolos SMPTN pun,
“rintangan” selanjutnya masih menghadang: biaya kuliah yang melangit. Seorang
Bapak yang anaknya lolos SMPTN mengungkapkan kekagetannya saat harus membayar
40 juta untuk mendaftar ulang. Seperti dikutip dari kompas.com, orang tua calon
mahasiswa itu tadinya berpikir kalau hanya akan membayar setidaknya 5 juta
rupiah saja,
“Itu
makanya semua orang ngejar dan berjuang ke SNMPTN. Kalau bayarnya mahal karena melalui
jalur ujian masuk mandiri, kami maklum. Tetapi, ini SNMPTN,"
paparnya.
Begitulah..Masih untung jika kita
pintar dan lolos beasiswa. Masih ada harapan untuk mengecap pendidikan di
perguruan tinggi. Jika tidak, maka harapan untuk kuliah hanya tinggal harapan. Sebenarnya,
ada yang disebut dengan program subsidi silang di perguruan tinggi. Maksudnya
untuk memberikan kesempatan lebih besar bagi siswa tak mampu untuk berkuliah di
kampus idaman. Namun dalam pelaksanaannya memang masih harus dibenahi.
Untuk mampu menggratiskan biaya
pendidikan seperti di Jerman, mungkin memang masih jauh. Andaikan dana yang ada
termanfaatkan dengan baik tanpa kebocoran di sana sini, kemungkinan untuk
menuju ke arah sana mungkin akan terbuka. Saya hanya prihatin jika masih ada
anak yang bahkan untuk lulus sekolah dasar saja tak mampu karena tak ada biaya.
Meskipun kuliah bukan segalanya, saya menyayangkan masih banyak anak-anak
berkualitas yang terhalang langkahnya untuk mengecap pendidikan tinggi karena
keterbatasan ekonomi.
So, di negeri ini ada “rumus”
yang harus dimiliki orang tua jika anaknya ingin kuliah. Jadilah pintar
dan..banyak uang! Jika tidak, berkuliah bisa jadi hanya sebatas angan. (Kamis malam, 27 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar