Kamis, 23 Oktober 2014

Sms-Sms Itu...



Ass. Maaf sy Ibu HJ.SALMIA yang tempo hari survey lokasi. Kami sangat berminat untuk nego harga. Hubungi suami sy H.ILHAM 085647752447. Terima kasih.
Source: www.knowyourmobile.com

Begitu bunyi sms yang saya terima suatu hari. Ini bukan sms “aneh” pertama yang saya terima. Sebelumnya, saya juga pernah menerima sms yang isinya sama tapi dengan nama dan nomor hape yang berbeda. Pernah juga saya menerima sms hampir serupa tentang survey tempat kos-kosan yang ujung-ujungnya ingin nego harga juga.
Saya memang tak pernah tertarik menanggapi sms-sms macam itu. Pertama saya tak merasa pernah menawarkan apapun pada siapapun. Jadi, untuk apa saya perlu nego harga?. Kedua, modus seperti ini-mengirimkan sms seolah-olah si pengirim kenal dan memiliki kepentingan dengan kita-sepertinya sudah banyak. Cuma isinya saja yang berubah-ubah.
Dulu, isi sms berisi permintaan untuk mengirimkan pulsa (ingat, sms mama minta pulsa?). Setelah itu sms berisi permintaan mengirimkan nominal uang tertentu ke rekening seseorang. Sekarang sms seperti di atas yang dikirim ke nomor saya.
Menyebalkan?Pastinya...karena tak jarang sms itu saya terima saat saya sedang menunggu-nunggu sms penting. Bayangkan, betapa kecewanya saya saat tahu kalau hape saya berbunyi gara-gara sms nggak penting itu.
Begitulah...Kini orang makin “kreatif” mencari cara untuk menipu dan mendapatkan uang. Setelah cara pertama dirasa tak mempan lagi karena banyak orang sudah tahu kebohongan mereka, mereka pun kembali memutar otak untuk mencari modus baru.
Saya yakin, dari sekian banyak sms yang mereka kirimkan pastinya ada saja orang yang tergerak untuk menghubungi. Misalnya jika mereka kebetulan memang sedang ingin menjual tanah - yang memang butuh survey lokasi-. Setelah menghubungi, pastilah para penipu akan mencari cara agar si korban terjerat dan ujung-ujungnya terperdayalah dia.
Saya tak tahu dari mana para penipu ini tahu nomor saya. Mungkin mereka mengambilnya secara acak atau memang saya pernah begitu teledor memberitahukan nomor hape saya pada orang tak dikenal-misalnya pada sales produk. 
www.eztexting.com

Tapi kayaknya, perlu ada keseriusan pemerintah untuk mengatasi masalah penipuan semacam ini. Sepertinya sudah sejak lama konsumen berteriak-teriak meminta agar nomornya tak bisa seenaknya diketahui orang-orang tak bertanggungjawab lalu disalahgunakan. Tapi nampaknya tak pernah ada penyelesaian dari masalah ini. Para penipu pun dengan bebas mengirimkan sms-sms tipuannya ke banyak nomor dan menjerat banyak orang.
Saya sendiri sempat ingin berganti nomor karena merasa amat terganggu. Tapi saya pikir, bukan tak mungkin jika nomor baru saya pun kembali “dibajak” dan dikirimi sms nggak penting lagi. Padahal, jika nomor saya ganti, perlu waktu lumayan untuk mensosialisasikannya pada banyak orang.
Daripada begitu, yang bisa saya lakukan adalah MENGABAIKAN saja. Lalu, saya masukkan nomor itu ke dalam phone book saya dan saya beri nama PENIPU. Ah...cuma ini yang bisa saya lakukan. Kasihan sekali jadi masyarakat Indonesia ya...

Kamis, 09 Oktober 2014

Kompleksitas Cinta Dalam Tabula Rasa





Galih, putra seorang duta besar, tak pernah bisa melupakan cintanya pada Krasnaya, seorang gadis Rusia yang dilihatnya pertama kali saat sedang melukis.  Saat keduanya mulai menjalin hubungan, ayah Galih diperintahkan untuk segera keluar dari Rusia karena situasi politik yang makin memanas di negara itu. Dengan terpaksa, Galih mengikuti keluarganya pulang ke Indonesia dengan hati yang masih tertambat pada Krasnaya.
Beberapa bulan setelah situasi membaik, Galih kembali ke Rusia, berharap dapat bertemu kembali dengan Krasnaya. Namun yang ia dapatkan hanya lukisan yang dijanjikan Krasnaya untuknya yang dititipkan pada teman Krasnaya, Zdenka. Sementara,Krasnaya dan ayahnya tewas ditembak secara misterius. Diduga, mereka ditembak karena hubungan Krasnaya dengan Galih.
Belasan tahun kemudian, Galih yang telah menjadi dosen di sebuah universitas di Yogya, serasa menemukan kembali sosok Krasnaya pada seorang gadis bernama Raras. Seperti kebetulan, Galih melihat Raras pertama kali saat gadis itu sedang melukis. Sayangnya, cinta Galih tak bersambut. Raras memiliki alasan untuk tak membalas cinta Galih.
Tabula Rasa menyajikan kompleksitas cinta dengan gaya penceritaan yang menarik dan filmis. Ratih Kumala, si penulis, menggunakan beragam sudut pandang dari banyak karakter dalam novelnya. Kata ganti “aku” tak selalu untuk Galih tapi bisa beralih sekejap pada Raras lalu pada tokoh-tokoh lain. Butuh konsentarsi penuh untuk bisa memahami lompatan point of view ini. Namun mungkin inilah nilai plus dari novel Tabula Rasa.
Membaca novel yang menjadi pemenang tiga Sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 ini, kita seperti dibawa pada beragam rasa tentang cinta. Cinta ternyata tak sesederhana kata-nya. Seringkali ia terbentur pada kenyataan yang tak selalu seindah impian bahkan tak sejalan dengan kata hati.
Gaya bahasa Ratih Kumala, entah mengapa mengingatkan saya pada Dewi Lestari. Kepiawaiannya merangkai kata membuatnya mampu membungkus kegetiran cinta yang tergambar dalam novel ini menjadi sesuatu yang tetap menarik untuk dibaca. Nice!


 

Selasa, 07 Oktober 2014

Mungkin Bukan Karena Malas...



Beberapa tahun lalu, saya punya murid di level Intermediate. Namanya Bayu. Bayu ini kayaknya suka sekali menggambar. Setiap kali les, saat di kelas, bahkan saat saya menjelaskan pelajaran, dia selalu asyik dengan buku sketsanya. Saya pernah melihat hasil karyanya. Wow..!Luar biasa. Saya melihat sepertinya dia berbakat jadi animator atau semacam itu.
Jujur saja. Awalnya saya sempat berpikir kalau si Bayu ini tipe audio yang lebih banyak mengandalkan telinga ketimbang mata untuk menyerap pelajaran. Sebabnya, tak sekalipun dia memperhatikan saya saat mengajar. Dia hanya berkutat dengan buku sketsanya, menggambar apapun yang ia mau. Tapi, saat saya mencoba bertanya, sekedar mengetes apakah dia mendengarkan penjelasan saya atau tidak, jawabannya ternyata mengecewakan. Tandanya, dia memang tak memperhatikan saya.
Dia juga jarang berinteraksi dengan teman-temannya di kelas kecuali kalau saya minta bekerja kelompok atau dengan partner. Yang dia minati cuma menggambar. Selain itu, dia juga sering absen tanpa alasan yang jelas. Di akhir term, jumlah absennya ada 8. Padahal syarat untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat absennya tidak boleh lebih dari 6.
Saya lalu coba bertanya kenapa dia kursus bahasa Inggris. Jawabannya, “Disuruh Om saya, Miss. “ Dia bercerita kalau setelah lulus dia ingin melanjutkan ke sekolah seni di Yogyakarta. Seolah ingin menegaskan kalau dia memang tidak berminat belajar bahasa dan hanya disuruh pamannya saja.
Melihat sikapnya itu, saya punya feeling kalau dia nggak bakal melanjutkan les-nya. Benar saja, di term berikutnya dia tidak ada. Padahal saya sudah berbaik hati memperbolehkannya ikut ujian dengan syarat mengumpulkan tugas.
Saya sering menemukan murid-murid seperti Bayu. Mereka nampak “malas” mengikuti pelajaran tertentu tapi akan excited ketika menekuni hal yang mereka sukai. Sebagai guru, kadang terselip rasa sebal dengan sikap malas-malasan mereka itu.
Tapi jika saya mau berempati, sepertinya apa yang mereka lakukan adalah hal yang wajar. Kata Ayah Edi dalam sebuah bukunya, sebenarnya tidak ada anak yang malas. Perlu digali lebih jauh kenapa anak itu malas. Kalau ternyata dia malas karena dipaksa mempelajari hal yang tak ia minati, pantaslah dia bersikap begitu.
Sama dengan seorang ibu yang nggak suka masak tapi disuruh ikutan kursus masak atau seorang ayah yang nggak suka otomotif tapi disuruh ngotak-ngatik mobil. Pasti bakal tersiksa banget rasanya.
Masalahnya, sistem pendidikan kita memang mengharuskan siswa menguasai semua pelajaran tanpa kecuali. Ada nilai KKM sebagai batas “kelulusan” siswa dalam satu pelajaran yang kalau tidak terpenuhi dia akan dianggap “belum tuntas” alias “belum lulus”. Nilai KKM ini menurut saya lumayan tinggi. Untuk kurikulum 2013 misalnya, nilai KKM-nya rata-rata 75. Lumayan tinggi dan sulit dicapai. Apalagi oleh siswa dengan kemampuan minim, pas-pasan atau memang tak suka pelajaran tertentu.
Saya bayangkan, kalau saya yang tak suka Matematika harus mendapat nilai rata-rata minimal 75 untuk mata pelajaran itu, pastilah bukan hal mudah bagi saya. Jangan untuk dapat nilai segitu, belajarnya aja bikin males...
Tapi inilah yang terjadi.  Sistem pendidikan di negara ini memang tidak mengarahkan murid untuk menekuni hal yang mereka minati saja. Mereka harus menjadi anak-anak super yang mau tak mau juga harus jago di semua bidang dengan dapat nilai bagus.
Maka-nya, melihat murid-murid saya yang malas-malasan saat belajar saya mencoba untuk berpikir positif dan mencari tahu kenapa mereka malas. Jika mereka malas karena memang tidak suka pelajaran tertentu, saya tetap menyemangati,
“Dear, kamu memang nggak harus menjadi expert di pelajaran ini. Tapi setidaknya kamu tetap bersungguh-sungguh. Insya Allah kamu tetap dapat pahalanya meskipun mungkin nggak dapet nilainya...”
Sambil berharap kalau di masa datang sistem pendidikan kita bisa lebih baik lagi...