Minggu, 24 Februari 2013

Mimpi Seribu Buku


Foto:www.qbaca.com


Saya seringkali terobsesi dengan buku. Mungkin karena saya suka membaca, makanya buku jadi hal yang amat menarik buat saya. Dan setahu saya, semua orang besar punya kecintaan yang juga amat besar terhadap buku. Selalu ada perpustakaan pribadi yang mereka miliki di rumah dengan ratusan bahkan ribuan judul buku di dalamnya.
Muhammad Hatta misalnya, salah satu tokoh yang saya kagumi, memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi luar biasa. Sepulang dari pengasingan di Belanda, nyaris tak ada harta pribadi yang ia bawa selain berpeti-peti buku. Ia bahkan punya koleksi buku-buku yang terhitung langka. Saat putrinya, Halida, sedang menyusun tesis dan memebutuhkan referensi buku yang sulit didapat, ternyata buku itu justru ditemuinya di perpustakaan sang ayah.
Dewi Lestari, penulis yang karyanya seringkali membuat saya kagum, pernah bercerita tentang koleksi bukunya yang berjumlah seribu-mungkin sekarang sudah lebih dari itu. Begitupun para tokoh yang rumahnya menjadi profil di KOMPAS Minggu, rata-rata punya perpustakaan pribadi. Bahkan koleksi bukunya menguasai hampir sebagian besar ruangan dalam rumah.
Saya sendiri suka mengoleksi buku. Saya mulai membeli buku sendiri saat kuliah karena saat itu lah saya punya dana lebih. Lucunya saya malah tak terlalu suka buku-buku non-fiksi kecuali komik detektif atau novel misteri seperti karya Agatha Christie. Karena itu koleksi buku fiksi saya bisa dihitung dengan jari. Saya lebih suka buku-buku non-fiksi seperti kumpulan esai, biografi atau kisah-kisah nyata.
Tapi karena budget terbatas, koleksi buku saya belum terlalu banyak. Jika didaftar, jumlahnya kini paling baru mencapai 150-an. Sekarang, saya malah harus membagi pos dana untuk membeli buku untuk saya dan untuk anak saya. Hanya saja, suami saya suka complain kalau saya keseringan beli buku,
“Yang di rumah aja belum tentu udah dibaca..” begitu katanya.
Iya juga sih..Kadang, saya cuma “lapar mata” dan membeli buku karena merasa memerlukannya. Padahal, sampai berbulan-bulan saya tak juga membacanya.


Tapi tetap..suatu hari nanti saya bermimpi untuk memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi buku lengkap sampai berjumlah seribu judul atau lebih..Syukur-syukur kalau orang lain pun bisa ikut menikmati dan mengambil manfaat dari koleksi buku saya..

Jumat, 15 Februari 2013

Bersakit-Sakit Dahulu



Salah satu hal yang amat saya syukuri hingga saat ini adalah saya bisa berbahasa Inggris. Bahasa Inggris saya memang nggak bagus-bagus amat. Tapi lumayanlah kalau hanya untuk sekedar ngobrol atau membaca koran.
Sekarang, banyak murid saya yang sudah dewasa, bahkan sudah berumur, yang baru mulai belajar bahasa asing ini. Harus diakui, kemampuan memahami murid-murid saya yang sudah tua ini sedikit lebih lambat dibandingkan dengan murid-murid saya yang masih SD misalnya. Perlu usaha ekstra bagi mereka untuk bisa mengerti satu materi atau menghapal arti kosakata. Mungkin karena memori otak orang dewasa sudah terlalu banyak menyimpan “file-file” hingga proses memahaminya jadi lebih lambat..Bahkan, banyak juga yang kemampuan bahasa Inggrisnya nol dan nyaris tak mengerti kosakata termudah sekalipun.
Saya lalu membayangkan mungkin akan seperti itu pula “nasib” saya andaikan dulu saya menyerah belajar Bahasa Inggris. Saya yakin kalau saya baru mulai belajar sekarang pastilah prosesnya tak akan semudah saat saya mulai belajar saat masih mudaan. Setidaknya, dulu otak saya cuma mikirin sekolah dan tak harus memikirkan susu atau pempers anak ha..ha..
Saya mulai belajar bahasa Inggris secara intensif saat SMP dan terhenti saat saya mempersiapkan ujian akhir. Baru saat saya kelas 1 SMU, saya mulai les bahasa Inggris lagi. Itu pun terhenti lagi karena tempat les saya belakangan tutup karena bangkrut. Bukan hal mudah untuk kembali menemukan tempat kursus baru karena saya tinggal di kota kecil. Jumlah tempat kursus bahasa Inggris bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. Kalaupun ada, biasanya hanya sampai level Intermediate karena pesertanya makin menyusut.
Saya ingat karena ingin bisa saya selalu rajin belajar bahasa Inggris sendiri. Untuk menambah kosakata, saya berusaha mencari arti kata dalam lagu-lagu bahasa Inggris yang teksnya saya dapatkan di majalah. Kosakata itu kemudian saya catat ulang di buku. Selain dari lagu, saya juga mencari kosakata baru dari buku cetak pelajaran Bahasa Inggris dari sekolah. Kadang, saya mencoba menulis teks lagu sendiri dengan mendengarkan langsung dari kaset. Semacam latihan listening gitu lah..Dari situ saya mendapat banyak sekali kata-kata baru termasuk bagaimana mengucapkannya dengan benar.
Untuk melatih speaking skill saya membiasakan diri bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan seorang teman yang juga suka belajar bahasa. Kami seringkali jadi bahan tertawaan dan ledekan karena dianggap “sok inggris”. Tapi saya tak terlalu peduli karena saya ingin bisa. Sayangnya, saya tidak pernah mendapat guru bahasa Inggris yang bagus di SMU hingga saya belajar bahasa Inggris nyaris tanpa bimbingan.
Saat kuliah di Program Ekstensi, barulah saya mendapat kesempatan belajar di tempat kursus yang lumayan. Tapi, hambatan untuk berangkat kursus juga banyak. Kadang, karena merasa kelelahan mengerjakan tugas-tugas kuliah, saya malas pergi. Apalagi saya les sore hari sampai menjelang magrib. Pernah saya tetap les, pulangnya saya kena hujan deras karena lupa tak membawa payung. Padahal, malam hari nya saya harus menghadapi ujian sampai jam 10. Akhirnya, saya datang ke kampus dan mengerjakan ujian masih dengan badan kedinginan.
Pernah juga saya mengambil jadwal les jam 7 pagi. Masalah muncul saat saya libur kuliah. Rasanya tak mungkin saya tinggal di tempat kos hanya untuk les seminggu sekali. Akhirnya, untuk mengejar waktu les tepat waktu saya berangkat dari rumah saya di Sukabumi jam 5 pagi setelah shalat subuh. Seringkali, saat di bis saya ditanya ini itu oleh penumpang yang duduk sebangku. Mungkin keheranan melihat anak cewek pergi naik bis sendirian di pagi buta. Meskipun sudah buru-buru begitu, sampai Bandung saya masih telat juga karena paling cepat saya sampai jam tujuh lebih lima belas menit.
Saya pun pernah hampir menyerah saat satu level lagi saya selesai les. Saya merasa capek dan bosan. Ditambah lagi, sebagai syarat kelulusan saya harus membuat semacam paper  yang harus dipresentasikan di hadapan murid-murid lain dan para penguji. Duh..mikirin tugas kuliah saja saya mumet apalagi bikin paper..?. Untunglah teman saya menyemangati. Dia bilang, seharusnya saya bersyukur bisa les karena dia ingin kursus juga tapi tak ada biaya.
Semua rasa lelah itu rasanya terbayar saat saya merasakan manfaatnya sekarang. Apalagi sekarang bisa berbahasa asing hampir menjadi kewajiban untuk pegawai, mahasiswa, sampai businessman. Saya tak perlu bersusah-susah lagi mempelajarinya dan tinggal menjaga agar kemampuan saya lebih baik lagi. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian..


Selasa, 05 Februari 2013

Menakar Cinta: Sekuat Apa?



Saya pernah membaca kisah seorang wanita. Namanya Zainab Al-ghazali. Ia adalah tokoh wanita Ikhwanul Muslimin yang pernah mengalami kekejaman rezim Gamal Abdul Naser di Mesir.
Karena aktivitasnya yang dianggap membahayakan pemerintah, Zainab kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Berbagai siksaan dan tekanan ia alami, bahkan hingga ia kehilangan separuh pendengarannya. Tapi semua kekejaman yang dialaminya, tak menggetarkan keimanan yang ia miliki. Hanya Allah yang ia sebut. Hinggga ia bermimpi, Rasuallah datang dan menghampirinya. Subhanallah..
Pernah pula ia dimasukkan ke dalam sel dengan seekor anjing lapar di dalamnya. Zainab diumpankan agar menjadi santapan anjing itu. Ajaib! Anjing itu sama sekali tidak menyerang Zainab. Dan ia pun selamat dari maut. Sampai saat penjaga penjara membuka pintu sel, ia keheranan mendapati Zainab masih hidup bahkan tak terluka sedikitpun!
Saat membaca kisah itu, saya hanya seorang remaja berumur belasan. Baru berjilbab dan masih mencari tahu tentang agama saya ini. Sungguh saya takjub bukan kepalang. Pertanyaan yang muncul adalah:”kenapa bisa?”. Apa yang membuat Zainab mau berkorban begitu rupa hingga rela mengalami derita luar biasa. Apa yang membuatnya begitu kuat menghadapi siksaan?.
Ah..kini saya tahu apa sebabnya. Cinta! Itulah jawabannya. Cinta yang membuat Zainab memiliki kekuatan luar biasa itu. Cinta yang membuatnya tak gentar menghadapi cobaan dan siksaan. Cinta kepada Allah lah yang membuatnya setegar itu!
Lalu, mulailah saya mendapati banyak kisah lain. Bagaimana kecintaan Mushab Bin Umair kepada ibunya dikalahkan oleh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Saat Bilal rela mempertaruhkan nyawa, ditindih batu besar untuk mempertahankan keyakinannya kepada Allah Taala. Ketika Sumayah meregang nyawa, melompat ke dalam bejana berisi air mendidih untuk mempertahankan aqidahnya..
Luar biasa..Begitulah cinta jika sudah berbicara. Seperti apapun rintangannya, akan dihadapi dengan ringan saja. Cinta disebut cinta jika sudah teruji. Bagaimana dengan saya?. Sekuat apakah cinta itu?

Jumat, 01 Februari 2013

Menjaga Kata Menjaga Lidah




Petinggi sebuah partai Islam dicokok KPK. Konon karena ia menerima suap satu milyar. Serentak dunia maya gonjang-ganjing. Setelah beritanya dimuat di sebuah situs online, berbagai komentar pun bermunculan. Rata-rata bernada sinis dan memojokkan. Ada yang menuduh partainya sebagai partai munafik, partai sok alim, sampai kata-kata bernada hinaan pada si petinggi.
Saya tak ingin membahas siapa salah siapa benar atau bercerita tentang keberpihakan saya. Yang saya “takjubi” adalah komentar-komentar itu. Saya tak tahu bagaimana rupa si pemberi komentar-karena memang tak berfoto- dan apa latar belakang pendidikannya. Tapi jika dilihat pilihan kata-katanya, saya jadi berpikir “kok bisa?”. Kok bisa, kata-kata yang terucap dan terketik begitu kasarnya. Kok bisa kepikiran mengeluarkan kalimat-kalimat itu?. Kalaupun si petinggi partai ini memang bersalah, pantaskah kita menghina, menghujat atau mencaci maki?. Rasa marah dan kecewa bukan alasan kita boleh menghardik. Saya merasa seperti membaca komentar dari para preman pasar saja. Membacanya sungguh tak mengenakkan hingga saya memutuskan untuk tidak meneruskan membaca komentar-komentar itu.  
Saya pikir, kebebasan di dunia maya bukanlah alasan kata-kata kita menjadi tak terarah. Banyak sudah contoh mereka yang diperkarakan karena tak menjaga lidahnya, entah di televisi , lebih banyak lagi di ranah online. Mungkin karena di dunia maya orang bisa sembarang memasukkan identitas, palsu sekalipun tak masalah, hingga mereka merasa lebih bisa bebas berbicara. Orang mungkin tak bakal tahu siapa kita. Tapi, bukankah ada yang Maha Tahu Segalanya?
Pantaslah kalau Islam sampai mengatur bagaimana umatnya harus bertutur dalam berbagai keadaan. Mendengar petir mengucap ‘audzubillahiminasyaithonirajiim-aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk, melihat sesuatu yang indah mengucap subhanallah-Maha Suci Allah-, mendapat musibah atau terkejut mengucap Masya Allah. Allah..Allah..Allah selalu yang disertakan dalam setiap ucapan, dalam setiap keadaan. Setiap ucapan-ucapan baik itu bahkan dinilai sebagai pahala.
Saya pun teringat kata-kata KH Abdullah Gymnastiar: “Ucapan adalah cerminan hati. Lihatlah teko. Apa yang keluar sesuai dengan isi di dalamnya. Isinya kopi yang keluar kopi. Isinya teh, keluar teh. Isinya air bening, keluar air bening pula.”
Menjaga lidah memang tak mudah. Sekali terucap, sulit dihapus efeknya. Tapi mejaga ucapan bukanlah hal niscaya. Biasakan diri membasahi lisan dengan mengingat-Nya dan melakukan hal-hal positif agar lidah tak terdorong mengucap kata-kata tak bermanfaat.
Sungguh saya bukan manusia yang sudah bebas dari kata-kata buruk. Saya pun masih terus belajar untuk mengendalikan dan menjaga ucapan saya. Biasanya. Dorongan untuk berkata tak baik muncul saat hati dikuasai amarah. Karenanya, saat marah saya memilih menenangkan diri. Menarik nafas dan berdiam atau berwudhu. Saya tak ingin menyesal di kemudian hari karena kata-kata kotor dan menyakitkan yang saya ucapkan sendiri.
Karena itu, ketika berita tentang si petinggi itu muncul serempak di situs online, saya hanya mengucap: Masya Allah..Masya Allah..
Itu lebih baik ketimbang menghujat dan mencaci maki. Karena kata-kata menunjukkan siapa kita.