Selasa, 29 Januari 2013

Mengantar Anak Mengaji..


Gambar: bhalanetra.files.wordpress.com


Tak terasa, anak saya kini sudah berumur 4 tahun. Waktu berjalan begitu cepatnya. Kayaknya baru kemarin saya menimang-nimang dia, mengajaknya belajar bicara dan berjalan. Sekarang, dia sudah mahir berlari dan ngomongnya banyaaak..
Saya pun sudah mulai mengajak dia belajar mengaji. Kebetulan, di dekat rumah saya ada tempat mengaji. Hampir semua anak di lingkungan tempat saya tinggal juga mengaji di sana. Saya melihat, anak saya sudah cukup paham hingga mulai bisa diajak belajar mengaji.
Tentu saja, jauh sebelum rencana mengajaknya belajar itu, saya sudah berusaha mengenalkan apa itu “mengaji”. Secara sederhananya, saya mulai dengan mengenalkan huruf-huruf hijaiyah. Jujur, saya bukan termasuk ibu telaten yang bisa setiap hari mengajak anak mengulang-ulang huruf-huruf yang diajarkan. Kadang, karena pekerjaan dan kesibukan lain, saya lupa kalau belum mengajak anak mengingat kembali huruf-huruf itu. Bahkan ketika sedang berduaan saja dengan anak, saya malah mengobrol hal lain.
Karena itu, saya meminta bantuan pengasuhnya untuk mengajari anak saya di sela-sela waktu bermain. Saya juga amat terbantu dengan video dan lagu-lagu anak yang mengajarkan mengaji. Ia jadi lebih cepat tahu dan hapal huruf-huruf hijaiyah berikut cara membacanya.
Yang tersulit adalah menumbuhkan ketertarikannya untuk mengaji. Maklum, anak seusianya kan masih suka bermain. Sementara waktu mengajinya sore hari. Jadi, sebelum “program” mengaji ini ia mulai, saya sudah sering bercerita asyiknya mengaji. Betapa banyak teman-teman mainnya yang mengaji juga plus..pujian dari ibu guru kalau ia sudah pintar mengaji.
Alhamdulillah..kini ia sudah memulai belajar mengajinya. Rasanya senang...banget melihatnya bersemangat berangkat sendiri sambil membawa ransel berisi buku dan alat tulis. Tugas saya selanjutnya adalah menjaga agar semangatnya tak pudar. Saya pun harus telaten mengajaknya mengulang pelajaran di rumah. Jika saya bekerja, pengasuhnya yang saya tugaskan mengantar dan mengajari.
Ini adalah salah satu langkah saya untuk mengenalkannya pada syariat. Jangan sampai saya bisa mengaji sementara anak saya tak bisa sama sekali. Sambil mengantarnya menuju tempat mengaji, saya berdoa dalam hati. Semoga setelah besar kelak ia tetap rajin mengaji...Amiin..




Selasa, 22 Januari 2013

Saat Merasa Bosan



Ada saat dimana saya merasa amat jenuh dengan pekerjaan. Waktunya bekerja bukan lagi hal menyenangkan. Dulu, saya menganggap mengajar anak-anak adalah tantangan yang bisa bikin penasaran. Begitupun mengajar anak-anak usia SMP atau SMU. Saya begitu excited menyiapkan properti mengajar dan tak sabar menunggu reaksi murid-murid saya di kelas.
Lama-lama, saya merasa bosan. Mengajar tak ada gregetnya lagi. Saya menjalani aktivitas itu semata karena kewajiban atau sekedar untuk mencari uang. Ok lah memang ia saya mencari nafkah. Tapi kalau hanya sebatas itu, rasanya terlalu gampang. Saya memang tak bercita-cita untuk menekuni pekerjaan ini sampai tua. Saya punya passion lain yang ingin saya kejar. Tapi setidaknya sampai tahun depan saya masih akan mengajar, meskipun mungkin tak akan se-full sebelumnya.
Parahnya, kebosanan itu berimbas pada murid-murid saya. Rasa “eneg” karena bosan mengajar membuat saya gampang naik darah. Padahal saya banyak mengajar kelas anak-anak yang tingkahnya pasti ada saja yang bikin kesel. Tingkah murid-murid kecil saya yang dulu saya anggap wajar, bisa dengan mudahnya membuat saya “meledak”. Meskipun setelah  marah-marah nggak jelas saya jadi menyesal luar biasa, saya berpikir kayaknya saya perlu melakukan sesuatu agar rasa jenuh itu tak berkepanjangan dan merugikan murid-murid saya yang tak tahu apa-apa.
Otak saya berputar mencari cara mengusir kejenuhan. Kayaknya tips-tips ini bisa juga dilakukan untuk mereka dengan profesi berbeda, tak hanya untuk pengajar seperti saya:
1.     Coba lakukan sesuatu yang baru yang berhubungan dengan pekerjaan kita. Sesuatu yang tak pernah kita coba sebelumnya. Misalnya, saya mencoba mengajar level baru yang tidak pernah saya ajar sebelumnya. Materi dan karakter murid yang berbeda, lumayan bisa menyemangatkan karena saya merasa tertantang untuk mencari tahu dan membuat “strategi” mengajar yang baru pula.

2.    Challenge Yourself!. Ini juga bisa jadi cara cukup jitu untuk menghindarkan dari kemonotonan pekerjaan. Di tempat saya mengajar misalnya, sebenarnya ada undangan bagi para guru untuk membuat riset kecil tentang metode mengajar dengan tema tertentu. Jika makalah kita terpilih, kita akan diundang untuk presentasi dan bertemu dengan pengajar lain dari seluruh Indonesia. Saya belum mencoba ini tapi kayaknya bisa jadi tester untuk mengetahui apakah saya bisa mengambil tantangan itu. Dan..mudah-mudahan bisa bikin semangat lagi.

3.    Lakukan hal baru di waktu luang . Misalnya dengan bergabung di komunitas sosial pecinta binatang atau aktivitas sosial lain yang sifatnya sukarela. Jika mungkin, lakukan secara rutin di akhir pekan. Saya yakin pengalaman batin kita akan menjadi lebih kaya dan semoga bisa me-recharge tenaga kita saat waktunya bekerja kembali di awal pekan.

4.    Istirahat sejenak. Bisa dengan cuti jika memungkinkan. Karena saya bekerja part time dengan jadwal kerja fleksibel, saya memutuskan untuk mengambil hanya 3 hari kerja saja. Dengan begitu, saya merasa sedikit lega karena ada jeda waktu saya menarik nafas sebelum bekerja lagi hari berikutnya.

5.    Kalau sudah benar-benar stuck, pikirkan kemungkinan untuk berhenti. Kalau kita tipe pengambil resiko, meninggalkan pekerjaan lama dan menekuni pekerjaan baru yang belum jelas mungkin tak masalah. Tapi kalau kita tipe “cari aman”, alternatif ini mungkin harus dipikirkan masak-masak. Apapun, lakukan saja selama itu membuat kita bahagia dan tak merugikan orang lain.





Rabu, 16 Januari 2013

Guru Vs Wanita Karier



Gambar:www.republika.co.id


X-Senior GM PT.XL Axiata Tbk, Y-Direktur PT.Lintas Niaga...Saya membaca deretan finalis dan pemenang lomba wanita karier inspiratif yang diadakan sebuah majalah wanita itu dengan mata berbinar, setengah terbelalak. Saya terkagum-kagum dengan para wanita yang sukses melesatkan kariernya hingga posisi puncak itu. Usia mereka mayoritas tak lebih dari 40 tahun. Tapi di usia semuda itu, mereka mampu meraih jabatan tinggi di perusahaan tempat mereka bekerja.
Langsung terbayang rupiah yang didapat mereka dengan posisi itu. Mungkin nominalnya sama dengan kumpulan gaji saya selama lebih dari setahun ha..ha.. Saya pikir, mereka pun tak perlu terlalu khawatir kalau gaji mereka tak bakal sampai bulan depan. Belum lagi tunjangan dan berbagai fasilitas yang mereka dapat dan tak saya dapat dari pekerjaan saya sebagai guru part time.
Sempat terlintas rasa “iri” dalam diri saya, bahkan saya sempat sedikit berandai-andai. Agak sombong saya berpikir. Saya yakin saya punya potensi yang sama baiknya dengan mereka. Saya nggak bodo-bodo amat saat kuliah, saya aktif di organisasi, public speaking saya lumayan..Tapi, kenapa saya ada di posisi yang amat bersebrangan jaraknya?. Saya “hanya” menjadi guru part time plus ibu rumah tangga saja dengan penghasilan rata-rata. Padahal, banyak orang bilang saya punya potensi. Kalau digali lebih dalam lagi bukan tak mungkin saat ini saya sedang berada di titik karier yang menjanjikan, bukan hanya sebagai guru tanpa karier begini.
Saya lalu menyesali kenapa dulu saya tak mencoba melamar kerja di perusahaan saja. Bukan membatasi mimpi jadi wartawan-yang ternyata nggak kesampaian- atau malah coba-coba melamar jadi guru-yang ternyata justru malah lolos. Ya..jika saya ngotot, siapa tahu saya diterima di perusahaan bonafid dan saya punya karier bagus.
Perasaan itu sempat mengendap dalam hati saya selama beberapa hari dan sedikit mengganggu pikiran juga. Tapi, saat saya mengamati sekeliling,  astagfirullah..saya segera tersadar. Kenapa saya jadi tak bersyukur begini?. Allah sudah memberi saya rezeki lewat pekerjaan part time saya itu. Meskipun tak berlebihan, setiap bulan toh saya punya penghasilan tetap yang bisa diandalkan. Tak seperti sebagian besar tetangga dan saudara sekitar rumah saya yang berpenghasilan tak tentu. Ada yang “cuma” jadi tukang jahit dengan penghasilan tak besar dan musiman saja. Ada yang jadi tukang bangunan yang harus pergi pagi pulang petang dengan penghasilan 70 ribu sehari. Kadang sebulan tak ada job yang artinya tak ada pemasukan.
Saya pun lalu mencoba merunut apa saja keuntungan dari bekerja part time. Pertama, saya punya lebih banyak waktu di rumah. Saya mulai mengajar siang hari, artinya saya punya waktu banyak di pagi hari untuk bersama anak saya. Kedua, pekerjaan saya memungkinkan saya untuk memilih jadwal. Saya bisa menentukan kapan saya ingin libur kapan saya mau mengajar. Dimana lagi saya bisa menemukan pekerjaan sefleksibel itu? Ketiga, dengan jadwal kerja yang relatif pendek-sekitar 4 sampai 6 jam sehari, gaji yang saya terima termasuk lumayan. Walaupun tak banyak, saya masih bisa menabung dari gaji saya itu.
Gambar:malang.oxl.co.id

Lagipula, bukankah penghasilan besar juga menuntut pengorbanan yang lebih besar? Saya sering membaca di sebuah majalah wanita bagaimana jungkir baliknya para ibu itu membagi waktu antara bekerja dan keluarga. Pergi pagi-kadang saat anak masih terlelap- dan pulang saat hari mulai gelap. Otomatis waktu dengan anak dan suami menjadi amat terbatas. Bahkan waktu untuk diri sendiri pun nyaris tak ada. Ada yang bahkan waktu akhir pekannya pun harus diisi dengan pekerjaan, entah untuk bertemu klien, rapat, atau acara ke luar kota.
Sedangkan saya, alhamdulillah tak harus pergi pagi pulang malam. Hanya sesekali saja saya pulang larut, itupun saya mulai kerja siang hari bukan pagi hari. Weekend bisa saya habiskan untuk menemani anak bermain, jalan-jalan bareng suami dan anak, atau melakukan aktivitas sosial. Saya pun jadi punya lebih banyak waktu untuk memperbaiki ibadah harian dan melakukan hobi. Hal-hal tadi belum tentu bisa saya lakukan kalau saya tetap ngotot ingin jadi wanita karier berjabatan tinggi.
Akhirnya semua adalah pilihan. Saya selalu salut dengan para ibu yang bisa sukses di pekerjaan namun tetap bisa meluangkan waktu untuk keluarganya. Saya pun salut pada para ibu rumah tangga “saja” yang begitu tekun mengurus rumah tangganya nyaris tanpa istirahat. Intinya, syukuri apa yang telah Allah berikan. Jangan pernah membandingkan apalagi iri dengan rezeki dan raihan orang lain karena belum tentu kita bisa lebih bahagia saat berada di posisi itu.
Selintas, saya teringat cicilan utang saya yang belum lunas..Ah..sudahlah..Para bos wanita itu mungkin juga punya hutang seperti saya ha..ha..




Rabu, 09 Januari 2013

5 Tips Mengajar Bahasa Inggris Untuk Anak



Gambar :lagu2anak.blogspot.com


Mengajar bahasa Inggris  untuk anak tentunya amat berbeda dengan mengajar untuk remaja dan dewasa. Salah satu pembedanya adalah anak, terutama pada rentang usia 5 hingga 8 tahun, memiliki kemampuan berkonsentrasi yang pendek.
Selama hampir 7 tahun mengajar, saya pernah merasakan bagaimana susah senangnya menghadapi anak-anak, dari level kelas 1 sampai kelas 6. Pastinya banyak ilmu dan pengalaman yang sudah saya dapat selama itu. Ada beberapa tips yang pengen saya share tentang cara mengajar bahasa Inggris untuk anak. Bukan karena saya sudah ahli, ya..Cuma ingin berbagi pengalaman saja:
1.  Persiapkan Banyak Variasi Kegiatan. Rentang konsentrasi yang pendek membuat anak cepat sekali bosan. Karena itu, idealnya saat mengajar kita harus menyiapkan berbagai variasi kegiatan dengan jeda waktu yang tak terlalu lama. Tujuannya agar ketika waktunya belajar, anak bisa fokus dan  bukan fokus pada teman atau kegiatan lain. Misalnya, gunakan gambar untuk mengajarkan kosakata, permainan untuk menguji apakah mereka memahami kosakata yang sudah diajarkan, dilanjutkan latihan soal dan seterusnya.

2.  Gambar Untuk Menarik Perhatian. Berdasarkan pengalaman saya, anak-anak umumnya tertarik dan suka melihat gambar. Jadi, gambar bisa digunakan sebagai salah satu alat bantu mengajar. Misalnya untuk mengajarkan kosakata atau latihan soal. Gambar bisa diperoleh lewat internet, koran atau majalah lalu ditempel di karton tebal untuk dipasang di papan tulis. Bisa juga dengan menampilkannya melalui in-focus.

3.    Games Anti Bosan. Untuk mengetahui apakah anak sudah paham atau belum, tak selalu kita mengujinya dengan memberikan soal-soal. Games pun bisa digunakan malah akan lebih menarik dan anak tak merasa “diuji”. Games dapat dilakukan secara berkelompok atau individu. Biasanya, anak akan merasa senang jika harus berkompetisi dengan teman-temannya. Saya pernah melakukannya saat mengajarkan countable dan uncountable noun (kata benda yang dapat dan tidak dapat dihitung).

Caranya, anak dibagi ke dalam kelompok, per kelompok terdiri dari 3 sampai 4 orang. Saya lalu membagikan satu set kata benda, jumlahnya antara 5 sampai 10 kartu. Bagi papan tulis menjadi beberapa bagian sesuai dengan jumlah kelompok yang ada. Pada tiap bagian kelompok, tuliskan countable dan countable noun. Perlihatkan satu kata benda dan minta perwakilan kelompok untuk mengambil kartu kata benda yang sama yang mereka miliki. Minta mereka memutuskan kata benda itu termasuk kategori kata benda yang dapat dihitung atau tidak dapat dihitung. Kemudian, tempelkan kartu itu di bawah kategori yang tepat. Akan lebih menarik jika pemenang dengan skor terbanyak diberi hadiah. Bisa berupa permen atau coklat.

4.  Tangan, Mata dan Telinga. Konon, anak belajar menggunakan tangan, mata dan telinganya. Karena itu, selain menggunakan gambar kita pun dapat menggunakan tangan atau panca indera lain untuk belajar. Misalnya, saat anak belajar tekstur seperti lembut dan kasar dan kata-katanya dalam bahasa Inggris, kita dapat mengajak anak merasakan sendiri dengan cara menyentuh benda-benda tertentu sesuai dengan tekstur yang ingin diajarkan. Untuk tekstur lembut (soft) misalnya ajak anak menyentuh boneka bulu. Ini pun dapat dilakukan saat anak belajar rasa dan kata-katanya dalam bahasa Inggris. Rasa manis (sweet) dapat diperkenalkan dengan mengajak anak mencoba gula, asin (salty) dengan mencoba garam dan sebagainya.

5.  Bergerak Tak Selalu Jelek. Seringkali orang tua menganggap belajar berarti duduk diam dan anak mendengarkan apa yang diterangkan guru. Saya sendiri tak menabukan anak untuk bergerak atau jalan-jalan di dalam kelas. Jika ada aktivitas yang menuntut mereka “jalan-jalan” di dalam kelas, it’s ok. Sering pula terjadi, saat diminta mengerjakan soal, beberapa anak dengan kemampuan di atas rata-rata akan selesai lebih dulu. Pastilah mereka tak akan diam di bangku dan cenderung akan melakukan aktivitas lain seperti bermain di dalam kelas. Biasanya saya tak melarang jika memang hal ini tak terhindarkan. Tapi, saya tetap memberi batasan untuk mereka. Misalnya mereka harus sudah menyelesaikan soal-soal yang diberikan, tidak bermain yang membahayakan diri dan teman-teman mereka atau yang dapat merusak fasilitas di dalam kelas.