Teman
saya keheranan saat tahu saya nggak
pernah punya pacar,
“Ya ampun, Fan..Temenku aja yang paling kalem sekalipun
pernah pacaran. Masa kamu nggak?”
katanya.
Saya cuma senyum-senyum saja. Untung teman saya itu nggak bilang kalau
saya pantas masuk kategori langka karena nggak pernah punya pacar!Pacaran memang
sudah menjadi hal lumrah di masyarakat kita terutama bagi remaja. Malah ada
yang dengan bangga bercerita tentang berapa jumlah “koleksi” pacar sebelum
menikah. Semakin banyak jumlah mantan, semakin hebat lah dia. Jujur, dulu saya
pun pernah percaya kalau punya pacar itu wajib hukumnya. Ada perasaan
tersisihkan saat melihat teman-teman saya saat SMP dulu pulang bareng pacar
masing-masing. Merasa iri saat sahabat saya memperlihatkan surat cinta dari
seorang cowok yang kemudian jadi pacarnya.
Lucunya, biarpun belum punya pacar
saya malah laris jadi tempat curhat teman-teman saya yang sudah berpengalaman
dalam hal pacaran malah sampai minta saran segala. Tapi mungkin karena itu saya
jadi lebih mikir-mikir untuk pacaran.
Saya
misalnya nggak mau asal memilih calon
pacar. Pertama, dia harus pintar. Karena saya paling lemot di pelajaran eksak,
saya berharap kalau calon pacar saya itu jago Fisika atau Matematika biar bisa
ngajarin saya nantinya. Kedua, saya pengen dia juga punya track record yang bagus.
Biarpun pintar tapi dia suka bolos, suka ngerokok atau rada-rada kucel saya
bakal nggak mau.
Makanya, saya heran
kalau ada teman saya yang mau saja pacaran sama cowok lola alias loading lama atau cowok yang suka ngerokok..Nggak bisa tuh saya pacaran hanya agar
dianggap laku atau cuma karena kebetulan ada yang suka. Mungkin karena itu ya..
akhirnya saya malah nggak jadi-jadi
punya pacar. Soalnya ada..saja kekurangannya di mata saja. Ada cowok pintar
tapi playboy..Ada yang baik tapi lemot..Ada yang pintar dan baik tapi dianya nggak suka sama saya..
Tapi
bukan karena nggak pernah pacaran
lalu saya dianggap tak pernah jatuh cinta ya..Jatuh cinta sih pernah banget he..he..tapi karena dulu saya
sudah punya kriteria di atas maka saya bisa tetap realistis saat saya menyukai
seseorang. Belakangan saya malah amat bersyukur karena tak pernah merasakan
punya pacar. Setidaknya saya tak perlu susah-susah berusaha menghapus kenangan
manis dengan si A atau B di kemudian hari. Islam ternyata juga tak membenarkan
pacaran sebagai jalan untuk mengenal calon pasangan hidup kita. Pacaran malah
cenderung akan mendekatkan pelakunya pada zina. Alasan bahwa pacaran bisa membuat
semangat belajar, sarana untuk belajar memahami karakter orang dan sebagainya,
sesungguhnya hanyalah dalih.
Coba
tanya, benarkah pacaran bisa memompa semangat belajar atau semangat kerja?
Kayaknya seringnya malah enggak
ya..Justru kita malah nggak
konsentrasi belajar karena selalu ingat si dia. Belum lagi akan ada aktivitas
yang biasanya ingin kita lakukan dengan pacar entah jalan-jalan atau sekedar
ngobrol berdua. Makin tersita lah waktu belajarnya.. Pacaran menurut saya juga
merupakan bentuk keterikatan yang dasarnya nggak
jelas. Belum nikah kok.. Jadi, tak
ada kewajiban untuk melakukan ini atau itu. Tapi nyatanya, banyak orang yang
memilih untuk terikat tanpa kejelasan ini lengkap dengan “kewajiban-kewajibannya”.
Teman
saya misalnya wajib lapor sama pacarnya tentang aktivitas apa yang dia lakukan
saat itu dan si cowok bakal manyun kalau teman saya lupa laporan via sms. Masa
sampai dia lagi sakit perut aja dilaporin?. Ribet kan?. Belum lagi kalau salah
satu ada yang ketahuan jalan dengan orang lain yang bukan pacarnya. Pasti
pasangannya bakal marah karena curiga atau cemburu. Sampai ada yang memilih
menjaga jarak dengan teman-teman cowoknya untuk menjaga perasaan pasangannya
itu. Padahal kalau dipikir keterikatan
seperti di atas nggak jelas juga
dasarnya apa. Kalau baru pacar ada hak apa dia mengatur kita boleh atau nggak boleh jalan dengan siapa.
Alhamdulillah
sampai menikah saya dapat menjaga diri saya untuk tidak pacaran. Sebelum
menikah saya dan suami melakukan ta’aruf yang pastinya lebih syar’i. Cara itu
jauh lebih safe ketimbang pacaran.
Saya malah merasa pacaran setelah menikah jauh lebih indah dan pastinya halal.
Saya lebih bisa menerima suami apa adanya karena saya memilihnya bukan semata
karena preferensi pribadi tetapi karena pilihan Allah. Dan Allah tidak pernah
salah pilih..