Tulisan Asma Nadia di sebuah koran nasional minggu lalu menarik
perhatian saya. Asma mengangkat topik tentang “teroris” dan anak rohis yang
dituduh “teroris”. Intinya, dalam tulisan itu Asma menyayangkan tindakan sebagian
orang yang bersikap gegabah dengan mengeneralisir masalah. Hanya karena salah
satu “teroris” yang tertangkap pernah jadi anggota ROHIS, lalu dibuatlah
kesimpulan kalau semua anak ROHIS pastilah teroris. Sebuah kesimpulan yang
pastinya bukan dihasilkan oleh penelitian dengan metode ilmiah dan bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bayangkan, ada berapa ribu anak ROHIS yang
terkena imbas negatif dari kesimpulan ngawur
itu, begitu tulis Asma.
Hampir sama dengan kasus di atas, saya teringat seorang teman
yang entah kenapa selalu bersikap nyinyir pada mereka yang disebut ustadz.
Suatu hari misalnya saat kami sedang break
dan suasana sedang sepi, tiba-tiba saja ia membuka tema tentang ustadz A yang
kebetulan saat ini sedang naik daun,
“Teman-teman tau nggak sih kenapa ustadz A itu sekarang bisa
jadi selebritis?” tanyanya tiba-tiba.
“Bukannya dia dulu emang bintang sinetron, man?” sahut seorang teman saya, cowok.
“Oh gitu ya... Tapi gua heran aja ya. Dia itu kan dulunya
tukang mabok, suka ngobat. Kok bisa-bisanya jadi ustadz gitu..”
Tanpa menunggu komentar yang lain, mulai lah teman saya itu
bercerita tentang ustadz B yang katanya dulu mantan preman bahkan pernah sampai
masuk penjara atau ustadz C yang menurutnya bilang Assalamualaikum saja nggak
bener.
“Makanya..gua tuh nggak percaya deh sama yang namanya ustadz. Labelnya
doang ustadz tapi kelakukan belum tentu. Apalagi kalau masa lalunya kayak
gitu..bla..bla..”
Itu bukan pertama kali dia membicarakan ustadz dari sisi
negatif. Anehnya, kok dia bisa tahu (atau mungkin sengaja mencari tahu?)
berbagai cerita tentang para ustadz itu yang seringnya cerita negatif. Sampai
suatu saat, keluarlah alasan kenapa dia rada antipati dengan orang yang disebut
ustadz. Rupanya, ia dan ayahnya pernah mengidolakan seorang tokoh agama. Namun ternyata,
tokoh yang mereka jadikan panutan itu malah melakukan sesuatu yang
mengecewakan. Sejak itulah sang ayah membenci sosok ustadz dan menanamkan
pandangan itu berulang-ulang kepada teman saya itu.
Saya pikir kok jadi nggak fair ya? Hanya karena ada seorang “ustadz”
yang menurutnya kurang baik lantas semua ustadz dianggap sama. Apalagi jika
karena masa lalu yang bersangkutan, lantas hilanglah respek kita pada mereka. Tulus
atau tidaknya perubahan yang dilakukan seseorang, saya pikir bukan kapasitas
kita untuk menilainya. Bukankah Umar bin Khatab dulu juga mantan “preman” yang
dkenal kasar dan kejam? Sampai-sampai anak perempuannya sendiri ia kubur
hidu-hidup. Tapi, apakah Rasulallah dan para sahabat menjadi hilang respek
karena hal itu? Bahkan Allah telah menetapkan Umar sebagai 10 calon penghuni surga.
Toh saya yakin, ada banyak ustadz
yang benar-benar mampu menjadi teladan umat karena sikap, kata-kata dan
perbuatannya dan bukan malah sebaliknya. Sungguh tidak adil jika mereka ikut dibenci
karena mereka dianggap “sama jeleknya”.
Tak bisa dipungkiri, mungkin ada diantara para ustadz itu yang
bertindak tak seharusnya. Terlalu banyak bercanda atau bergaya terlalu
lebai..Tapi saya pikir, jadikan itu sebagai pembelajaran saja agar kita tak
mengikutinya. Mungkin ada baiknya kalau teman saya itu mengenal sosok almarhum
ustadz Rahmat Abdullah yang santun dan tawadhu namun sangat berkharisma atau sosok
almarhumah ustadzah Yoyoh Yusroh yang selalu bersemangat, ramah dan tulus
menjalani hari-hari sibuknya berdakwah..Sebut pula ustadz yang pernah mengajar
saya belajar Tahsin Qur’an saat sekolah dulu yang nasehat-nasehatnya membekas
di hati saya hingga sekarang.
Lama saya nggak bertemu lagi dengan teman saya itu. Tapi saya
berharap, pandangannya negatifnya akan berubah seiring berjalannya waktu..