Rabu, 09 Mei 2012

Makin Pintar Dengan Mengajar



Pantaslah jika Rasulallah menyuruh kita menyampaikan ilmu meskipun hanya satu ayat. Karena ternyata dengan mengajarkan kepada orang lain (baca: punya murid baik formal ataupun tidak), kita makin terdorong untuk terus belajar dan meng-upgrade pengetahuan yang kita miliki.

Saya mengajar bahasa Inggris sejak 6 tahun lalu dan selama itu lah saya merasa kemampuan bahasa Inggris saya sudah jauh lebih baik. Dulu, saya sering bengong saat harus mendengarkan percakapan dari kaset atau CD. Banyak sekali kata-kata asing bagi buat saya. Kosakata saya juga parah. Saya baru tahu kalau kemampuan Inggris saya tak terlalu bagus setelah coba-coba ikut tes TOEFL saat kuliah dulu. Saat listening saya bingung karena dialognya terdengar seperti orang kumur-kumur..Saat reading saya pusing karena banyak kata asing. Akhirnya bisa ditebak, tes TOEFL pertama saya nggak terlalu bagus meskipun bisa tembus di atas 500.

Saya lalu meng-azzamkan diri untuk menambah vocabs. Saya mengharuskan membaca buku atau bacaan apa pun yang berbahasa Inggris. Saya sampai tulis kata-kata susah yang saya temui, saya cari artinya di kamus, lalu saya baca-baca lagi agar nempel di otak. Di perpustakaan saya paksakan membaca koran The Jakarta Post, tapi akhirnya saya nyerah karena nggak ngerti.he...Syukurlah saat saya tes masuk kerja di tempat saya mengajar sekarang, TOEFL saya nggak jeblok-jeblok amat...

Setelah kerja, saya memberanikan diri membaca koran The Jakarta Post lagi.Lho..kok bisa ngerti? Saya juga makin bisa memahami percakapan dalam kaset atau CD secepat apa pun orang berbicara..Tambahan lagi, mengajar di sini juga membuka wawasan saya tentang banyak hal. Kadang saat mengajar satu level ada satu topik yang sdibicarakan misalnya tentang kesehatan atau olahraga. Saat itu mau tak mau saya harus cari bahan juga biar bisa paham,kan?..Ya, benar kata Rasul, sampaikanlah walau hanya satu ayat..Saya sudah merasakan hasilnya..Wallahua'lam..

Selera Jadul

Kalau saja saya tak membaca tabloid atau iseng mendengarkan obrolan murid-murid saya, pastilah saya tak tahu siapa itu Justin Bieber, Lady Gaga atau SuperJunior. Pertama, saya memang tak punya waktu dan tak merasa perlu meluangkan waktu untuk tahu tentang mereka. Kedua, selera musik saya memang berbeda dengan musik yang mereka bawakan. Maklumlah..udah "berumur"..ha..ha..Jadi nggak heran dong kalau saya merasa tak nyambung  dengan lagunya anak-anak sekarang.

Tapi kalau diingat-ingat, saat saya remaja dan belum berjilbab dulu, selera musik saya memang rada "aneh"..Kalau remaja seusia saya di tahun 90-an itu senang mendengar lagu-lagu trend saat itu, saya malah punya referensi musik lain: mendengarkan kaset-kaset jazz punya papa saya seperti Karimata, Indonesia 6 atau Jean Retno Aryani. Saya juga suka lagu-lagunya Peter Cetera dan David Foster. Ada pula beberapa lagu era 60 atau 70-an yang sering saya dengar semacam If-nya Bread atau All I am-nya Heatwave yang teksnya sering saya baca di buku lagu Papa saya.

Sampai sekarang, selera saya masih cenderung "klasik" kalau tak bisa dibilang jadul. Saya paling suka lagu-lagu 80-an meskipun saya termasuk remaja era 90-an. Buat saya, lagu 80-an itu everlasting. Musiknya mungkin sederhana bila dibandingkan musik sekarang yang serba computerized. Tapi liriknya dalem..Setidaknya begitu menurut saya ha..ha..Lagu-lagu yang paling "nendang" misalnya lagu-lagu Chicago seperti You Come To My Senses atau Hard To Say I'm Sorry. Atau lagu-lagunya Peter Cetera yang suaranya khas itu..Wah..saya nggak bosan mendengarkan lagu The Glory of Love atau You're The Inspiration.

Bukan  hanya musik, saya juga gemar mencari info tentang hal-hal berbau oldies. Di Youtube, saya sering mencari video film-film lama seperti Breakfast At Tiffany's. Saya sering penasaran kenapa satu film di masa itu bisa terkenal padahal saat saya tonton ceritanya biasa saja.. ha..ha..Saya juga paling suka melihat foto-foto lama. Bandung atau Jakarta tempo dulu misalnya. Saya sering membayangkan bagaimana rasanya hidup di zaman itu saat suasana kota belum sepadat dan seramai sekarang, saat para wanita masih setia berkebaya dan para laki-laki berbeskap dan kain jarik?..Kadang saya ingin punya mesin waktu seperti Doraemon biar tahu bagaimana hidup di masa dulu. Untungnya, saya tak menyukai laki-laki bergaya oldies. Saya suka yang normal-normal saja seperti suami saya..ha..ha..

Jumat, 04 Mei 2012

Bergegas Mewujudkan Mimpi.. (Part 2)


Lulus D3, saya kuliah di jurusan jurnalistik. Saya memilih jurusan itu karena saya suka menulis. Saat itulah saya makin banyak membaca berbagai buku dan media lain. Saya juga jadi terbiasa menulis karena tugas-tugas saya memang kebanyakan berhubungan dengan itu. Saya lalu merasa enjoy saat mengekspresikan pemikiran saya lewat tulisan. Apalagi, saya bukan orang yang dengan mudah bercerita secara verbal pada orang lain. 

Saya "menemukan" mimpi baru: jadi penulis. Salah satu majalah yang sangat menginspirasi saya untuk jadi penulis adalah majalah Annida. Saya amat suka cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa (HTR), Asma Nadia, Sinta Yudisia, Afifah Afra dan banyak lagi penulis lain yang tulisannya sering muncul di Annida. Tulisan mereka sangat menginspirasi dan bisa  menambah wawasan keislaman saya. Saya pun rajin mengirimkan tulisan ke media, meskipun tak dimuat. Saya sempat ikut training kepenulisan di Mesjid salman ITB dan bergabung dengan Forum lingkar Pena, sebuah organisasi kepenulisan yang digagas HTR. Tapi , inilah jeleknya saya.., setelah saya bekerja saya seolah "lupa" dengan mimpi saya jadi penulis. Apalagi saya bekerja di bidang yang jauh dari dunia tulis-menulis..Tak ada lagi semangat menulis bahkan di blog sekalipun..

Tapi saya disentakkan oleh Alif, tokoh rekaan Ahmad Fuadi yang amat menginspirasi. Saya pun disentakkan Andrea Hirata yang mampu menghasilkan buku fenomenal dengan bahasa indah dan intelek seperti tetralogi Laskar Pelangi..Ya, usia saya tak lagi muda (he3..), tapi saya merasa tak pernah berusaha penuh untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya..Sekarang lah saatnya..Saya mulai dengan menulis di blog lagi, menjadi penulis free lance, sambil berharap kalau suatu saat saya dapat dengan bangga menunjukkan buku karya saya sendiri pada anak cucu.. Amiin..






Bergegas Mewujudkan Mimpi...(Part 1)

Sesaat setelah menonton film Negeri 5 Menara, saya seperti tersentak..Tokoh Alif, yang merupakan personifikasi dari penulisnya Ahmad Fuadi, membuat saya tersadar: Tidak pernah ada yang tidak mungkin, selama kita mau berusaha..Alif misalnya, sebenarnya "hanya"lah seorang remaja biasa dari sebuah desa kecil di Sumatera Barat..Tapi ia tak ragu bermimpi. Bersama para sobatnya dalam kelompok shahibul menara, ia dengan lantang berkata:"Suatu hari aku akan ke Amerika..".Siapa mengira, bertahun-tahun kemudian mimpinya menjadi nyata. Tak hanya ke Amerika, ia bahkan mampu melanglang buana ke negara yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya..

Saya teringat, saat SMA saya sangat ingin ikut pertukaran pelajaran AFS , sebuah program pertukaran pelajar yang memungkinkan pelajar tinggal di luar negeri selama jangka waktu tertentu untuk belajar budaya negara bersangkutan. Saya terinspirasi oleh sebuah majalah remaja yang seringkali memuat para pelajar alumni program itu. Tapi belum apa-apa, saya sudah takut duluan..Berbagai pertanyaan seperti.."Gimana dapet infonya?"..Ah, apa bisa saya lolos tes?" "Ah,saya kan cuma pelajar biasa dari kota kecil pula..Apa bisa bersaing dengan pelajar seindonesia?" dan sejuta pertanyaan lain yang intinya malah makin membuat saya ragu untuk melangkah.Ya sudahlah, karena saya keburu banyak mikir yang tak perlu, akhirnya kesempatan ikutan AFS pun hilang bahkan terlupakan..Andaikan saya coba dulu, bukan tak mungkin Allah bukakan kesempatan itu kan?

Saat kuliah D3, mimpi saya lain lagi..Jadi penerjemah..Saya suka belajar bahasa asing dan suka menulis juga. Saya sangat terinspirasi oleh penerjemah Harry Potter, almarhumah Listiana Srisanti. Saya bukan penyuka Harry Potter dan hanya pernah membaca sedikit saja. Tapi menurut saya, ketika sebuah buku terjemahan mampu memberikan efek yang sama terhadap pembaca seperti buku aslinya, maka penerjemahnya pasti luar biasa. Dia mampu menyampaikan pesan yang sama seperti apa yang ingin disampaikan JK Rowling, penulis Harry Potter. Padahal, menerjemahkan bukan hanya sebatas mengartikan kata-kata tapi juga mentransfer budaya..Tak jarang saya membaca buku terjemahan yang malah membuat saya bingung dan malas membacanya sampai habis. Tapi saya memang kurang struggle..Saya pernah menerjemahkan, tapi saya memang lebih cenderung menunggu job terjemahan saja. Saya tak pernah misalnya berusaha meng-upgrade kemampuan bahasa asing saya agar lebih qualified untuk jadi penerjemah. Saya pun tak berusaha mencari peluang lain yang kira-kira akan bisa membawa saya ke jalan menuju mimpi saya itu...(to be continued)